Berita

Sistem & Asas Pembuktian Pidana

 

SISTEM ATAU TEORI PEMBUKTIAN PIDANA

Sistem atau Teori Pembuktian yang digunakan pada Hukum Acara Pidana di Indonesia bertujuan untuk membuktikan perbuatan terdakwa guna mencari kebenaran materil. mengenai telah terjadinya tindak pidana, dan terdakwa lah pelakunya, serta dapat dipertanggungjawabkan kepada terdakwa, yang mana pembuktian tersebut didukung dengan alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang serta keyakinan hakim yang berdasarkan undang-undang.

Berikut beberapa Sistem atau Teori Pembuktian yang dianut oleh negara-negara Anglo Saxon maupun Eropa Kontinental termasuk Indonesia (Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2015. Halaman 251-257):

  1. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif (Positive Wettelijk Bewijstheorie) menitikberatkan pembuktian pada alat bukti yang ada pada ketentuan undang-undang saja tanpa menggunakan keyakinan hakim. Sistem atau Teori ini sering disebut sebagai teori pembuktian formal (formele bewijstheorie).
  2. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu menitikberatkan pada keyakinan hakim saja tanpa menggunakan alat bukti yang ada pada ketentuan undang-undang. Hakim mengambil keputusan berdasarkan hati nuraninya, sistem atau teori ini sering disebut conviction intime.
  3. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis (laconviction rasionnee) menitikberatkan pada keyakinan hakim berdasarkan pertimbangan dan alasan tertentu yang logis. Putusan hakim dan pertimbangan hakim disertai dengan kesimpulan yang berlandaskan peraturan pembuktian tertentu. Sistem atau Teori ini terbagi dua meliputi Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis (laconviction rasionnee) dan Sistem atau Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheorie).
  4. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (negatief wettelijk bewijstheorie) menitikberatkan pada pembuktian berganda (dubbel en grondslag) yakni berdasarkan undang-undang dan keyakinan hakim, yang mana keyakinan hakim tersebut bersumber pada undang-undang.

 

ASAS HUKUM ACARA PIDANA

Adapun Asas hukum acara pidana terdiri dari:

  1. Asas Peradilan dilaksanakan “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana Pancasila (sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa) dan Pasal 29 UUD Negara Republik Indonesia 1945 bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengadilan tidak hanya bertanggungjawab kepada hukum, sesama manusia, dan dirinya sendiri, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pasal 197 (1) KUHAP Kepala Putusan Wajib ditulis “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sehingga dapat disimpulkan Peradilan tidak hanya semata dilaksanakan berdasarkan kehendak manusia akan tetapi juga bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. (Syaiful Bakhri, Sistem Peradilan Pidana Indonesia Dalam Persfektif Pembaruan, Teori, dan Praktik Peradilan, Jakarta: Pustaka Pelajar. 2015 halaman 66).
  2. Asas Legalitas, (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali) memiliki arti “tidak ada perbuatan pidana dapat dipidana tanpa perundang-undangan pidana yang telah ada.” Makna Asas Legalitas ada 4 (empat) sebagai berikut: 1. Terhadap Ketentuan Pidana tidak boleh berlaku surut (non retroaktif / nullum crimen nulla poena sine lege praevia atau lex praevia), 2. Ketentuan Pidana harus tertulis dan tidak boleh dipidana berdasarkan hukum kebiasaan (nullum crimen nulla poena sine lege lege scripta atau lex scripta). 3. Rumusan ketentuan pidana harus jelas (nullum crimen nulla poena sine lege lege certa atau lex certa). 4. Ketentuan Pidana harus ditafsirkan secara ketat dan larangan Analogi (nullum crimen nulla poena sine lege lege stricta atau lex stricta). Selanjutnya sebagaimana dikemukakan Aselm von Feuerbach (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali) apabila diuraikan ada 3 (tiga) frasa menjadi: 1. nulla poena sine lege artinya tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang, 2. nulla poena sine crimine artinya tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana dan 3. nullum crimen sine poena legali artinya tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang. Berdasarkan ketiga pengertian frasa tersebut diatas asas legalitas mempunyai fungsi 1. Fungsi melindungi artinya undang-undang pidana melindungi rakyat dari kekuasaan Negara yang sewenang-wenang (fungsi melindungi dalam pidana materil) 2. Fungsi instrumentasi yaitu dalam batas-batas yang ditentukan undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh Negara secara tegas diperbolehkan (Fungsi melindungi dalam pidana formil). Asas legalitas dalam hukum acara pidana artinya setiap perbuatan pidana harus dituntut, asas legalitas hukum acara pidana memiliki tiga makna meliputi: 1. Lex scripta artinya penuntutan hukum acara pidana harus bersifat tertulis, 2. Lex certa artinya hukum acara pidana harus jelas, 3. Lex stricta artinya hukum acara pidana harus ditafsirkan secara ketat, penafsiran hukum acara pidana sifatnya restrictif. (Eddy. O. S Hiariej, Teori & Hukum Pembuktian, Yogyakarta: Erlangga. 2012 halaman 34-35.)
  3. Asas Due Proses of Law, asas ini sebagai seperangkat prosedur yang disyaratkan oleh hukum yang harus ditaati sebagai standar beracara yang berlaku universal.
  4. Asas Praduga Tidak Bersalah (presumption of innocent), Asas ini mensyaratkan seseorang dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan hakim yang yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
  5. Asas In Dubio Pro Reo artinya apabila terjadi keragu-raguan maka yang diberlakukan adalah peraturan yang paling menguntungkan terdakwa.
  6. Asas Peradilan Cepat, Sederhana Dan Biaya Ringan, Asas ini menitikberatkan peradilan dilaksanakan secara cepat tidak berlarut-larut, proses yang dilaksanakan sederhana (prosedural) atau tidak berlebihan dan administrasi biaya perkara ringan (tidak membebani).
  7. Asas Hak Ingkar, Terdakwa memiliki hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya, dalam hal mengajukan keberatan disertai dengan alasannya. Hakim juga dapat mengundurkan diri apabila terkait hubungan keluarga sedarah, semandea sampai derajad ketiga. Hak ingkar saksi untuk diperdengarkan kesaksiannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi karena ada hubungan keluarga.
  8. Asas Peradilan Terbuka Untuk Umum, Pemeriksaan di pengadilan terbuka untuk umum, sehingga setiap orang atau pengunjung diperbolehkan menghadiri atau menyaksikan secara langsung proses persidangan dipengadilan sebagai wujud transparansi. Asas peradilan terbuka untuk umum dilaksanakan kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
  9. Asas Pengadilan Memeriksa Perkara Pidana dengan Kehadiran Terdakwa, Asas ini mewajibkan terdakwa hadir dalam persidangan, guna memeriksa secara terang dan jelas, sehingga perkara dapat diputus dengan kehadiran terdakwa. Kecuali ditentukan lain oleh peraturan khusus yang mengaturnya contoh pelanggaran lalu lintas dan tindak pidana korupsi.
  10. Asas Persamaan didepan Hukum (equality before the law), asas ini menekankan setiap orang sama didepan hukum, kedudukan setiap orang diperlakukan sama, tidak ada perbedaan, tidak memandang golongan, status sosial, agama, warna kulit, kaya, miskin, tua, muda dan sebagainya.
  11. Asas Bantuan Hukum, asas ini sebagai wujud Negara hukum, yang mana memberikan bantuan hukum kepada setiap orang yang tersangkut masalah hukum. Negara menjamin batuan hukum kepada setiap orang.
  12. Asas Pemeriksaan Hakim Langsung dan Lisan, artinya pemeriksaan dilakukan secara langsung, tidak secara tertulis antara hakim dan terdakwa.
  13. Asas Ganti Kerugian dan Rehabilitasi, asas ini menjamin adanya keseimbangan antara hak menuntut oleh Negara dan Kewajiban Negara apabila didalam penerapan hukum terjadi kekeliruan pada saat ditangkap, ditahan, dituntut atau kerugian karena tindakan lain tanpa alasan hukum atau karena kekeliruan baik mengenai orangnya ataupun hukum yang diterapkan. Ganti kerugian dan rehabilitasi pelaksanaannya diatur oleh undang-undang.
  14. Asas Kepastian dan Jangka Waktu Penahanan, artinya pada setiap tahapan pemeriksaan baik ditahap peyidikan, penuntutan dan pengadilan memiliki jangka waktu penahanannya masing-masing, sebagaimana ketentuan KUHAP dan juga kepada terdakwa wajib diberitahukan tentang dakwaan dan dasar hukumnya.
  15. Asas Oportunitas, artinya asas yang menyatakan bahwa Penuntut Umum memiliki wewenang untuk menuntut atau tidak menuntut sebuah perkara demi Kepentingan Umum.
  16. Asas Actori Incumbit Onus Probandi, artinya siapa yang menuntut dialah yang wajib membuktikan dalam hukum acara pidana, sehingga JPU wajib membuktikan kesalahan terdakwa.
  17. Asas Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, dan Penyitaan Dilakukan Berdasarkan Perintah Tertulis Pejabat Yang Berwenang, artinya setiap penangkapan, penggeledahan, penahanan dan penyitaan harus dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan cara yang diatur oleh undang-undang.
  18. Asas Akusator (Accusatoir) artinya menempatkan tersangka atau terdakwa sebagai subjek yang memiliki hak yang sama di depan hukum. Asas accusatoir menunjukan bahwa seorang terdakwa yang diperiksa dalam sidang pengadilan bukan lagi sebagai objek pemeriksaan.
  19. Asas Peradilan Bebas, adil dan tidak memihak, artinya hakim dalam memutus perkara bebas dari pengaruh atau intervensi dari pihak manapun dan dalam melaksanakan peradilan harus bersikap adil serta tidak boleh memihak kepada siapapun kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan.
  20. Asas Pengawasan dan Pengamatan Putusan Pengadilan, artinya putusan pengadilan diawasi oleh ketua pengadilan yang bersangkutan bertujuan sebagai jaminan putusan pengadilan sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

.

 

Sumber:

Pancasila

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

KUHP & KUHAP                                                                                         

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2015

Eddy O. S Hiariej, Teori & Hukum Pembuktian, Yogyakarta: Erlangga. 2012

Syaiful Bakhri, Sistem Peradilan Pidana Indonesia Dalam Persfektif Pembaruan, Teori, dan Praktik Peradilan, Jakarta: Pustaka Pelajar. 2015

M. Yahya Harahap,Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinargrafika, 2006

Leave A Comment