Berita

Menyalahgunakan Kewenangan dalam Tindak Pidana Korupsi dan Penyalahgunaan Wewenang Pada Hukum Administrasi

Menyalahgunakan Kewenangan dalam Tindak Pidana Korupsi dan Penyalahgunaan Wewenang Pada Hukum Administrasi

 

1.   Menyalahgunakan Kewenangan dalam Tindak Pidana Korupsi: Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, secara tegas menyatakan: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”.

    Unsur Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu:

1). Unsur “Setiap orang”

    Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara tegas menyatakan definisi dan pengertian dari kata “Setiap Orang” adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi. Pengertian “setiap orang” ini dalam bahasa KUHP disebut “barang siapa”. Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusannya tanggal 18 Desember 1984 Nomor: 892 K/PID/1983, memberi pengertian bahwa ”barang siapa” di dalam tindak pidana korupsi bukan hanya orang sebagai pegawai negeri, melainkan harus diartikan secara luas pula tercakup swasta, pengusaha dan badan hukum. Putusan Mahkamah Agung R.I. ini diikuti oleh Putusan Mahkamah Agung R.I. tanggal 28 Februari 2007 Nomor 103 K/Pid/2007, dengan demikian, rumusan “setiap orang” dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut, ialah siapa saja, artinya setiap orang yang karena perbuatannya disangka atau didakwa melakukan suatu tindak pidana korupsi, baik ia pegawai negeri/penyelenggara negara mau pun bukan pegawai negeri/penyelenggara negara.

     Unsur “setiap orang” ini terdapat baik dalam Pasal 2 ayat (1) maupun dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Namun, pengertian unsur “setiap orang” dalam Pasal 2 ayat (1) tidaklah sama dengan pengertian unsur “setiap orang” dalam Pasal 3 tersebut. Pada unsur “setiap orang” dalam Pasal 3 dipersyaratkan adanya suatu jabatan atau kedudukan, sedangkan dalam unsur “setiap orang” dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut tidak ada dipersyaratkan demikian. Untuk membuktikan unsur “setiap orang” dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak bisa semata-mata dilihat dari adanya jabatan atau kedudukan yang dimiliki oleh Terdakwa, melainkan harus pula dilihat apakah dengan jabatan atau kedudukannya tersebut Terdakwa mempunyai kewenangan atau kesempatan atau sarana yang ada padanya untuk melakukan perbuatan yang didakwakan dalam surat dakwaan. Apabila dengan jabatan atau kedudukannya tersebut Terdakwa memiliki kewenangan atau kesempatan atau sarana yang ada padanya untuk melakukan perbuatan yang didakwakan dalam surat dakwaan, maka barulah dapat dikatakan Terdakwa dengan jabatan atau kedudukannya tersebut memenuhi kriteria unsur “setiap orang” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Sebaliknya apabila dengan jabatan atau kedudukannya itu Terdakwa tidak memiliki kewenangan atau kesempatan atau sarana yang ada padanya untuk melakukan perbuatan yang didakwakan dalam surat dakwaan, namun Terdakwa melakukan perbuatan dimaksud, maka Terdakwa adalah termasuk dalam pengertian unsur “setiap orang” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

    Menurut Sudikno Mertokusumo: “Subyek hukum (subjectum juris) adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh, mempunyai atau menyandang hak dan kewajiban dari hukumyang terdiri dari: Orang (natuurlijkepersoon), dan Badan hukum (rechtspersoon).”

     Unsur “setiap orang” hanya merupakan element delicht dan bukan bestandeel delict (delic inti) yang harus dibuktikan. Artinya, unsur setiap orang harus dihubungkan dengan perbuatan selanjutnya, apakah perbuatan tersebut memenuhi unsur pidana atau tidak.

      Menurut Simons, merumuskan strafbaar feit atau delik sebagai berikut: “eene strafbaar gestelde, onrechtmatige. Met schuld in verband staande, van een toekeningsvatbaar persoon”. Artinya: Suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan pidana, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seseorang yang bersalah dan orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya.

       Mr. Drs. H.J. Van Schravensijk, berpendapat mengenai unsur barang siapa sebagai berikut: “Barang siapa mengerdjakan suatu perbuatan, jang tidak dapat ditanggungkan kepadanja karena kurang sempurna ‘akalnja atau karena sakit berubah’ akal, tidak boleh dihukum.”

      Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga, pengertian “barangsiapa” adalah sama dengan: “siapapun, sembarang orang, siapa saja”.

 

 2). Unsur “Dengan Tujuan Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”

      Unsur “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” ini bersifat alternatif, artinya cukup dengan terbukti salah satu saja dari 3 (tiga) alternatif “menguntungkan” tersebut, yaitu menguntungkan diri sendiri, atau menguntungkan orang lain atau menguntungkan suatu korporas, maka unsur ini telah terpenuhi. Yang dimaksud dengan “menguntungkan” adalah sama artinya dengan mendapatkan untung, yaitu pendapatan yang diperoleh lebih besar dari pengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari pendapatan yang diperolehnya. Dengan demikian yang dimaksudkan dengan unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” adalah sama artinya dengan mendapatkan untung untuk diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Di dalam ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat dalam pasal 3 ini, unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” tersebut adalah tujuan dari pelaku tindak pidana korupsi.

   Unsur subyektif yang melekat pada batin si pembuat menurut pasal 3 ini merupakan tujuan si pembuat dalam melakukan perbuatan menyalahgunakan kewenangan dan lain-lain tadi yakni untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Unsur tujuan (doel) tidak berbeda artinya dengan maksud atau kesalahan sebagai maksud (opzet als oogmerk) atau kesengajaan dalam arti sempit seperti yang ada pada pemerasan, pengancaman maupun penipuan (pasal 368, 369 dan 378 KUHP). Apa yang dimaksud dengan tujuan ialah suatu kehendak yang ada dalam pikiran atau alam batin si pembuat yang ditujukan untuk memperoleh suatu keuntungan (menguntungkan) bagi dirinya sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Unsur ini merupakan unsur batin yang menentukan arah dari perbuatan penyalahgunaan kewenangan dan sebagainya. Adanya unsur ini harus pula ditentukan secara obyektif dengan memperhatikan segala keadaan lahir yang menyertai perbuatan tersangka. Sejalan dengan pendapat Soedarto, S.H. tersebut, Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan putusannya tertanggal 29 Juni 1989 Nomor : 813 K/Pid/1987 dalam pertimbangan hukumnya menyatakan antara lain bahwa unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan” cukup dinilai dari kenyataan yang terjadi atau dihubungkan dengan perilaku Terdakwa sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya karena jabatan atau kedudukan.

 

3). Unsur “Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”

    Yang dimaksud dengan “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” tersebut adalah menggunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk tujuan lain dari maksud diberikannya kewenangan, kesempatan atau sarana tersebut. Untuk mencapai tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi tersebut dalam Pasal 3 ini telah ditentukan cara yang harus ditempuh oleh pelaku tindak pidana korupsi, yaitu: dengan menyalahgunakan kewenangan, dengan menyalahgunakan kesempatan atau dengan menyalahgunakan sarana, yang ada pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi. Yang dimaksud dengan “kewenangan” adalah serangkaian hak yang melekat pada jabatan atau kedudukan dari pelaku untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas pekerjaannya dapat dilaksanakan dengan baik. Sedangkan yang dimaksud dengan “kesempatan” adalah peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku, peluang mana tercantum dalam ketentuan ketentuan tentang tata kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan yang dijabat atau diduduki oleh pelaku. Dan yang dimaksud dengan “sarana” adalah syarat, cara atau media, yaitu cara kerja atau metoda kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan dari pelaku. Orang yang karena memiliki suatu jabatan atau kedudukan, karena jabatan atau kedudukan itu dia memiliki kewenangan atau hak untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan tertentu dalam hal dan untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Kepemilikan kewenangan sering ditimbulkan oleh ketentuan hukum maupun karena kebiasaan. Bila kewenangan ini digunakan secara salah untuk melakukan perbuatan tertentu, itulah yang disebut menyalahgunakan kewenangan. Jadi, menyalahgunakan kewenangan dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sebenarnya berhak untuk melakukannya, tetapi dilakukan secara salah atau diarahkan pada hal yang salah dan bertentangan dengan hukum atau kebiasaan. Misalnya, seorang kepala personalia suatu kantor publik memiliki kewenangan untuk mengangkat pegawai, namun dia mengangkat anaknya tanpa melalui prosedur dan tidak memenuhi syarat yang berlaku, seharusnya anaknya itu tidak dapat diangkat sebagai pegawai. Hal itu merupakan perbuatan menyalahgunakan kewenangan dan tentu akan merugikan Negara.

    Menurut E Utrecht – Moh. Saleh Djindang yang dimaksud dengan “jabatan” adalah suatu lingkungan pekerjaan tetap (kring van vaste weerkzaamheden) yang diadakan dan dilakukan guna kepentingan negara/ kepentingan umum atau yang dihubungkan dengan organisasi sosial tertinggi yang diberi nama negara.

     Pada unsur Menyalahgunakan Kewenangan menurut hukum pidana terkandung makna kesengajaan, kelalaian, melawan hukum, kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. Dari makna yang terkandung didalam menyalahgunakan kewenangan dapat dijadikan tolak ukur untuk menyatakan seseorang telah menyalahgunakan kewenangan berdasarkan hukum pidana. Kesengajaan, kelalaian, melawan hukum, kesalahan dan pertanggungjawaban pidana, sebagai pembeda antara unsur menyalahgunakan kewenangan menurut hukum pidana dan penyalahgunaan wewenang menurut hukum administrasi.

 

 4). Unsur “Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”

      Pengertian “merugikan” adalah sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, sehingga dengan demikian yang dimaksudkan dengan unsur “merugikan keuangan negara” adalah sama artinya dengan menjadi ruginya keuangan negara atau berkurangnya keuangan negara . Didalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan bahwa kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.

     Menurut R. Wiyono, menyatakan: “Yang dimaksud dengan “merugikan” adalah sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, sehingga dengan demikian yang dimaksudkan dengan unsur “merugikan keuangan negara” adalah sama artinya dengan menjadi ruginya keuangan negara atau berkurangnya keuangan negara.” 

   Pengertian “keuangan negara” menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:

a.    Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik tingkat Pusat maupun di Daerah;

b.   Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

     Menurut R. Wiyono, menyatakan: “Dengan tetap berpegangan pada arti kata “merugikan” yang sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, maka apa yang dimaksud dengan unsur “merugikan perekonomian negara” adalah sama artinya dengan perekonomian negara menjadi rugi atau perekonomian negara menjadi kurang berjalan.” 

    Pengertian “perekonomian negara” menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijaksanaan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.

     

   Menyalahgunakan kewenangan menurut hukum pidana memiliki ciri tersendiri yang membedakan dengan penyalahgunaan wewenang menurut hukum administrasi. Dalam pembuktian Menyalahgunakan kewenangan selain unsur diatas sebagaimana Pasal 3 UUPTPK harus terpenuhi, maka harus juga memenuhi makna dasar dari pada tindak pidana itu sendiri, hal ini yang menjadi pembeda dengan penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi yakni berupa kesengajaan, kelalaian, melawan hukum, kesalahan dan pertanggungjawaban pidana.

    Walaupun kesengajaan, kelalaian, melawan hukum, kesalahan dan pertanggungjawaban pidana yang merupakan pembeda unsur Menyalahgunakan Kewenangan dalam hukum pidana dan Penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi tidak tertulis secara nyata pada rumusan delik akan tetapi unsur ini tidak dapat dipisahkan dari hukum pidana. Hukum pidana memiliki kaitan erat dengan kesengajaan melakukan suatu perbuatan melawan hukum (perbuatan yang dilarang oleh undang-undang), dan perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku, sehingga si pelaku dapat dikatakan sebagai orang yang telah melakukan tindak pidana.

      Kesengajaan (opzet) menurut meomorie van toelichting berarti de bewuste richting van den wil op een bepaald misdriff (kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu) yang merupakan willens en wetens (dikehendaki dan diketahui).

     Kesengajaan menggunakan kewenangan, dalam hal ini menghendaki menggunakan kewenangan tersebut menyimpang dari tujuan diberikannya wewenang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan mengetahui akibat dari pada penyimpangan wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan tersebut, atau dengan kata lain dengan secara sadar menyalahgunakan kewenangan serta menginsafi akibat yang timbul dari perbuatan menyalahgunakan kewenangan tersebut. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud disini adalah ketentuan hukum pidana yang mengatur secara khusus tentang larangan menyalahgunakan kewenangan. Kesengajaan disini bisa juga diartikan sebagai niat jahat didalam melakukan suatu perbuatan. Para ahli memberikan definisi niat sebagai berikut:

     Hazewinkel suringa berpendapat niat adalah kesengajaan. Niat adalah tidak lebih dari suatu rencana untuk mengadakan perbuatan tertentu pula didalam pikiran. Dalam rencana itu, kecuali mengandung apa yang dimaksud, juga mengandung gambaran tentang bagaimana akan dilaksanakannya, dan tentang akibat-akibat tambahan yang tidak diinginkan tapi yang dapat diperkirakan akan terjadi pula.

     Simons berpendapat niat tidak punya pengertian lain, selain perkataan itu disebut sebagai sengaja. Dengan demikian ada persyaratan bahwa pelaku haruslah bertindak dengan sengaja. Jika sengaja dianggap harus ada, hal tersebut tergantung pada pengertian sengaja itu sendiri dan tergantung pada syarat-syarat tertentu yang menentukan pengertian yang harus diberikan kepada sengaja tersebut pada tiap-tiap perbuatan yang dapat dipidana.

    Berdasarkan pengertian niat yang disampaikan para ahli diatas telah jelas bahwa niat sama artinya dengan kesengajaan, sehingga didalam menyalahgunakan kewenangan berdasarkan hukum pidana haruslah ada niat jahat atau kesengajaan untuk berbuat kejahatan.

      Tindak pidana menyalahgunakan kewenangan dalam hukum pidana haruslah ada niat jahat yang berada dalam diri si pelaku dan dituangkan atau diwujudkan dalam permulaan pelaksanaan perbuatan jahat atau perbuatan melawan hukum, serta perbuatan tersebut selesai (berbeda dengan percobaan melakukan tindak pidana yang mana perbuatannya tidak selesai). Niat jahat menggunakan kewenangan yang tidak sesuai atau menyimpang dari tujuan diberikannya wewenang tersebut, kemudian dilanjutkan dengan perbuatan permulaan pelaksanaan yakni bisa berupa tidak melaksanakan kewajiban yang harus dilakukan dalam kewenangan itu atau melakukan larangan dan melakukan perbuatan minyimpang dari tujuan diberikannya kewenangan itu berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan mengetahui terlebih dahulu akibat yang ditimbulkan apabila larangan dan kewajiban yang ada dalam kewenangan tersebut tidak dilaksanakan sebagimana tujuannya.

     Kelalaian (culpa) menurut meomorie van toelichting terletak antara sengaja dan kebetulan, culpa lebih ringan dari kesengajaan. Hazewinkel – Suringa menyatakan delik culpa merupakan delik semu (quasidelict), sehingga dilakukan pengurangan pidana terhadap pelaku culpa.

     Kelalaian melaksanakan kewenangan yakni tidak hati-hati melaksanakan kewenangan sebagaimana kewenangan yang telah diberikan, sehingga mengakibatkan wewenang yang diberikan tidak berjalan sebagaimana mestinya wewenang itu dijalankan. Ketidakhati-hatian melaksanakan kewenangan berdasarkan ketentuan hukum pidana yang mengatur secara khusus tentang larangan menyalahgunakan kewenangan.

      Melawan hukum meliputi Sifat melawan hukum wederrechtelijkheid adalah satu frase yang memiliki empat makna yakni: Sifat melawan hukum umum, Sifat melawan hukum khusus, Sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materil. Sifat melawan hukum umum (generale wederrechtelijkheid) memiliki elemen perbuatan pidana apabila terpenuhinya unsur delik, melawan hukum dan dapat dicela. Sifat melawan hukum ini adalah syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan. Sifat melawan hukum khusus (special wederrechtelijkheid) tercantum didalam rumusan delik sehingga menjadi syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Sifat melawan hukum khusus wajib dibuktikan oleh penuntut umum karena tercantum didalam rumusan delik. Ajaran Sifat melawan hukum terbagi atas dua yakni sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materil: Sifat melawan hukum formil, Perbuatan melawan hukum formil (formeel wederrechtelijkheid) adalah perbuatan yang bertentangan dengan aturan hukum tertulis yakni peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Sifat melawan hukum materil, Perbuatan melawan hukum materil (materieel wederrechtelijkheid) adalah perbuatan yang bertentangan dengan aturan hukum tidak tertulis yakni hukum kebiasaan dan rasa keadilan dalam masyarakat serta nilai kepatutan didalam masyarakat.

     Melawan hukum menggunakan kewenangan meliputi menggunakan kewenangannya bertentangan dengan hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) ataupun hukum tidak tertulis (apabila didalam hukum administrasi hukum tidak tertulis merupakan asas umum pemerintahan yang baik), akan tetapi melawan hukum disini tetap berpedoman pada asas legalitas sebagai dasar hukum pidana.

    Melawan hukum menggunakan kewenangan bisa dikarenakan melanggar dari tujuan kewenangan itu diberikan oleh undang-undang, atau melawan hukum melaksanakan kewenangan dikarenakan dalam menjalankan kewenangan yang diberikan bertentangan dengan ketentuan hukum pidana yang secara khusus mengatur tentang larangan menyalahgunakan kewenangan seperti halnya Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

      Melawan hukum menggunakan kewenangan / menyalahgunakan kewenangan dengan cara melawan hukum disini diartikan tersirat didalam unsur Pasal 3 UUPTPK yang merupakan aturan hukum pidana, yang artinya untuk menilai seseorang yang memiliki kewenangan telah melawan hukum adalah dengan cara menggunakan kewenangannya bertentangan dengan ketentuan hukum pidana yang secara khusus melarang melakukan perbuatan menyalahgunakan kewenangan, dalam hal ini UUPTPK.

      Kesalahan menurut para ahli sebagai berikut:

1.   Kesalahan menurut Simons “seseorang yang menurut undang-undang dianggap bahwa ia berbuat salah, jika dia dapat menyadari perbuatannya melawan hukum dan sesuai dengan itu dia dapat menentukan kehendak perbuatan tersebut”.

2.     Kesalahan menurut Remmelink adalah sebagai pencelaan yang ditujukan oleh masyarakat yang menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu terhadap manusia yang melakukan perilaku menyimpang yang sebenarnya dapat dihindari.

3.     Kesalahan menurut Mezger mengartikan kesalahan sebagai keseluruhan syarat yang memberi dasar pencelaan pribadi terhadap pelaku perbuatan pidana.

4.      Kesalahan menurut Jonkers adalah terdiri dari unsur sifat melawan hukum, dapat diperhitungkan, dapat dihindari dan dapat dicela.

5. Kesalahan menurut van Bemmelen dan van Hattum meliputi semua unsur yang mana seseorang dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana terhadap perbuatan melawan hukum, mencakup semua hal yang bersifat psikis secara kompleks berupa perbuatan pidana dan pelakunya.

6.   Kesalahan menurut van Hammel adalah hubungan antara keadaan psikis pelaku dan terwujudnya unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan dalam hukum adalah pertanggungjawaban hukum.

7.  Kesalahan menurut Pompe adalah suatu pelanggaran norma, biasanya perbuatan melawan hukum dari segi luarnya dan dari segi dalamnya berkaitan dengan kehendak pelaku adalah kesalahan. Kesalahan tidak ada artinya tanpa melawan hukum, dalam hukum pidana tidak hanya kesalahan moral tetapi kesalahan hukum, kesalahan juridis.

8. Kesalahan menurut Vos ada tiga yakni pertama: dapat dipertanggungjawabkan pelaku, kedua: hubungan psikis pelaku dengan perbuatannya yang biasanya dalam bentuk sengaja, atau alpa dan ketiga: tidak ada dasar yang menghapuskan pertanggungjawaban pelaku atas perbuatannya.

Kesalahan dalam melaksanakan kewenangan meliputi adanya perbuatan yang dapat dicela dari kewenangan yang dijalankan oleh pelaksana kewenangan, dalam hal ini kewenangan yang melawan hukum (melanggar hukum tertulis / peraturan perundang-undangan dan  hukum tidak tertulis) serta dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana atas kesalahan dari pelaksanaan kewenangan tersebut. Bahwa kesalahan dalam hal ini adalah kesalahan menurut hukum pidana meliputi pelaksanaan kewenangan tersebut melanggar ketentuan hukum pidana yang mengatur secara khusus tentang larangan menyalahgunakan kewenangan.

Pertanggungjawaban pidana menurut para ahli sebagai berikut:

1.    Van Hammel mendefinisikan pertanggungjawaban pidana adalah suatu keadaan normal psikis dan kemahiran yang membawa tiga macam kemampuan, yaitu 1). mampu untuk dapat mengerti makna serta akibat sungguh-sungguh dari perbuatan-perbuatan sendiri, 2). Mampu untuk menginsafi bahwa perbuatan-perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat, 3). Mampu untuk menentukan kehendak berbuat.

2.     Simons mendefinisikan pertanggungjawaban pidana adalah keadaan psikis tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi.

3.      Vos mendefinisikan pertanggungjawaban pidana merupakan kelakuan yang dapat dicela kepadanya, bukan celaan etis tapi celaan secara hukum.

Pertanggungjawaban kewenangan menurut hukum pidana merupakan pertanggungjawaban secara pribadi, apabila kewenangan yang diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut disalahgunakan. Berbeda dengan pertanggungjawaban wewenang menurut hukum administrasi menitikberatkan kepada pertanggungjawaban jabatan dari si pemangku wewenang, sehingga tidak dapat dibebankan kepada pribadi sebagaimana hukum pidana. Menurut hukum pidana sesuai dengan pengertian pertanggungjawaban pidana diatas maka adanya hubungan psikis si pelaksana kewenangan yang mengakibatkan kewenangan yang ada padanya melahirkan perbuatan pidana dan dapat dicela berdasarkan hukum pidana sehingga kewenangan tersebut bertentangan dengan ketentuan hukum pidana yang mengatur secara khusus tentang larangan menyalahgunakan kewenangan.

 

2.      Penyalahgunaan wewenang pada Hukum Administrasi

a.      Pengertian Wewenang

Philipus M Hadjon, mengemukakan wewenang dalam kepustakaan Hukum Administrasi Belanda, selalu menjadi bagian penting dan bagian awal dari hukum administrasi karena objek hukum administrasi adalah wewenang pemberitahuan dalam konsep hukum publik. Kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi.

Istilah wewenang atau kewenangan disejajarkan dengan authority dalam bahasa inggris dan bevoegdheid dalam bahasa Belanda. Authority dalam Black’S Law Dictionary diartikan sebagai kewenangan atau wewenang adalah kekuasaan hukum, hak untuk memerintah atau bertindak, hak atau kekuasaan pejabat publik untuk memenuhi aturan hukum dalam melaksanakan kewajiban publik.

Bevoegdheid dalam istilah hukum Belanda, Philipus M Hadjon memberikan catatan berkaitan dengan penggunaan istilah wewenang dan bevoegdheid. Istilah bevoegdheid digunakan dalam konsep hukum privat dan hukum public, sedangkan wewenang selalu digunakan dalam konsep hukum publik.

Wewenang sebagai konsep hukum publik sekurangnya terdiri dari 3 (tiga) komponen yaitu pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum.

Komponen pertama, pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum. Komponen ini dimaksudkan agar pejabat negara tidak menggunakan wewenangnya diluar tujuan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

Komponen kedua, dasar hukum adalah wewenang itu selalu harus ada dasar hukumnya. Komponen ini bertujuan agar setiap tindakan pemerintahan atau pejabat negara harus selalu mempunyai dasar hukum yang jelas dalam hal bertindak.

Komponen ketiga, konformitas mengandung makna adanya standar wewenang yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu). Komponen ini menghendaki agar setiap pemerintahan atau pejabat negara mempunyai tolak ukur atau standar yang bersifat umum untuk semua jenis wewenang yang bertumpuk pada legalitas tindakan.

Asas Legalitas merupakan unsur universal konsep negara hukum apapun tipe negara hukum yang dianut suatu negara. Dalam hukum pidana asas legalitas dalam wujudnya “nullum delictum sine lege” dewasa ini masih diperdebatkan berlakunya. Dalam hukum administrasi asas legalitas dalam wujudnya “wetmatigheid van bestuur” sudah lama dirasakan tidak memadai. Tidak memadainya asas “wetmatigheid van bestuur” pada dasarnya berakar pada hakikat kekuasaan pemerintah. Kekuasaan pemerintahan di Indonesia sangat popular disebut dengan eksekutif dalam praktiknya tidak lah murni sebuah kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang). Dalam kaitan dengan hal tersebut, Philipus M. Hadjon menyatakan dengan menyetir pendapatnya N. E. Algra bahwa: “pada kepustakaan Belanda jarang menggunakan istilah “uitvoerende macht”, menggunakan istilah yang popular “bestuur” yang dikaitkan dengan “sturen dan sturing”. “Bestuur” dirumuskan sebagai lingkungan kekuasaan negara diluar lingkungan kekuasaan legislative dan kekuasaan yudisial.

Konsep “bestuur” membawa implikasi kekuasaan pemerintahan tidaklah semata sebagai kekuasaan terkait, tetapi juga merupakan suatu kekuasaan bebas (vrij bestuur, freies ermessen, discretionary power). Menurut Ten Berge seperti yang dikutif Philiphus M. Hadjon, kekuasaan bebas itu meliputi kebebasan kebijakan dan kebebasan penilaian. Kebebasan kebijakan (wewenang diskresi dalam arti sempit) artinya bila peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintah, sedangkan organ tersebut bebas untuk (tidak) menggunakannya meskipun syarat-syarat bagi penggunaannya secara sah terpenuhi. Sedangkan kebebasan penilaian (wewenang diskresi dalam arti tidak sesungguhnya) adalah hak yang diberikan organ pemerintah untuk menilai secara mandiri dan eksklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah terpenuhi.

Philiphus M. Hadjon menyatakan untuk memudahkan memberikan pemahaman tentang kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi dengan cara melihat ruang lingkupnya. Kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi meliputi:

1.      Kewenangan untuk memutus sendiri.

2.      Kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (vage normen)

Kekuasaan bebas (vrij bestuur) asas “wetmatigheid” tidaklah memadai kekuasaan bebas disini tidak dimasudkan kekuasaan yang tanpa batas, tetapi tetap dalam koridor hukum (rechmatigheid), setidak-tidaknya pada hukum yang tertulis atau asas-asas hukum.

Badan hukum public yang berupa negara, pemerintah, departemen, pemerintah daerah, institusi untuk dapat menjalankan tugasnya, mereka memerlukan kewenangan. Pemberian kewenangan terhadap badan hukum public tersebut dapat dilihat pada konstitusi masing-masing negara.

Perihal kewenangan tidak terlepas dari Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi karena kedua jenis hukum itulah yang mengatur tentang kewenangan. Hukum Tata Negara berkaitan dengan susunan negara atau organ negara (stasts, inrichtingrecht, organisatierecht) dan posisi hukum dan warga negara berkaitan dengan hak-hak dalam (grondrehten). Dalam organ atas susunan negara diatur mengenai: bentuk negara, bentuk pemerintahan dan pembagian kekuasaan dalam negara.

Pembagian kekuasaan dalam negara terdiri atas pembagian horizontal yang meliputi: kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dan vertical terdiri atas pemerintahan pusat dan daerah. Pembagian kekuasaan dalam negara secara horizontal dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan dalam negara dan saling melakukan kontrol. Adapun pembagian tugas secara vertical maupun horizontal, sekaligus dengan pemberian wewenang badan-badan negara tersebut yang ditegaskan dalam konstitusi.

Titiek Sri Djatmiati menguraikan hubungan antara hukum administrasi dengan kewenangan. Hukum administrasi atau hukum tata pemerintahan (administratiefrecht atau bestuurrecht) berisikan norma-norma hukum pemerintahan. Norma-norma hukum pemerintahan tersebut menjadi parameter yang dipakai dalam penggunaan kewenangan yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah. Adapun parameter yang dipakai dalam penggunaan wewenang itu adalah kepatuhan hukum ataupun ketidakpatuhan hukum (improper legal or improper illegal), sehingga apabila terjadi penggunaan kewenangan dilakukan secara “improper illegal” maka badan pemerintah yang berwenang tersebut harus mempertanggungjawabkan. Hukum administrasi hakikatnya berhubungan dengan kewenangan publik dan cara-cara pengujian kewenangannya, juga hukum mengenai kontrol terhadap kewenangan tersebut.

b.      Sumber Lahirnya Wewenang

Berdasarkan asas legalitas (legaliteits beginselen atau wetmatigheid van bestuur) yang merupakan pilar utama negara hukum bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan. Wewenang pemerintahan dapat diperoleh melalui atribusi, dan delegasi serta mandate yang ditempatkan secara tersendiri untuk memperoleh wewenang.

Atribusi menunjuk kepada kewenangan yang asli atas dasar ketentuan hukum tata negara. Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materil. Rumusan lain mengatakan bahwa atribusi merupakan pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu. Yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Delegasi menegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada badan pemerintahan yang lain. Dalam hukum administrasi Belanda (AWB / Algemene Wet Bestuursrecht) pasal 10:3 AWB, delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang (untuk membuat besluit) oleh pejabat pemerintahan (pejabat Tun) kepada pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggungjawab pihak lain. Sedangkan yang memberikan delegasi disebut sebagai delegans dan yang menerima disebut delegataris.

Dalam pemberian/pelimpahan wewenang ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu: pertama, delegasi harus definitif, artinya delegasi tidak lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu. Kedua, delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan itu dalam peraturan perundang-undangan. Ketiga, delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi. Keempat, kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut. Kelima, peraturan kebijakan (beleidsregelen) artinya delegasi memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.

Perbedaan Atribusi dan Delegasi yakni atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain); jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi.

Mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang, pejabat yang diberi mandate (mandataris) bertindak untuk dan atas nama pemberi mandate (mandans) menunjuk pejabat lain (mandataris) untuk bertindak atas nama mandans (pemberi mandat). Pada mandate tidak terdapat suatu transfer kewenangan, tetapi pemberi mandate (mandans) memberikan kewenangan pada badan yang lain (mandataris) untuk membuat suatu keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya.

c.       Pertanggungjawaban Wewenang

Pertanggungjawaban secara yuridis terhadap penggunaan wewenang yang melanggar hukum (penyalahgunaan wewenang) harus dilihat dari sumber atau lahirnya wewenang. Sebagaimana konsep hukum “geen bevoegdheid zonder veranwoordelijkheid atau there is no authority without responsibility”. Didalam setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan.

Pada atribusi, wewenang pertanggungjawaban secara yuridis oleh si penerima wewenang berada pada pemegang wewenang itu sendiri. Akan tetapi pertanggungjawaban si pemegang wewenang yang berdasarkan atribusi tersebut tergantung si penerima wewenang melakukan mandat atau delegasi. Jika yang dilakukan adalah pemberian mandate maka mandans (pemberi wewenang/penerima wewenang dalam atribusi) tetap bertanggungjawab secara hukum. Hal tersebut berbeda apabila penerima atribusi melakukan delegasi, maka pemberi wewenang tidak bertanggungjawab, karena pertanggungjawaban sudah beralih pada delegatoris.

Pada delegasi, pekerjaan yang didelegasikan diserahkan sebagian atau seluruh wewenang kepada penerima delegasi (delegatoris) untuk bertindak melaksanakan pekerjaan tersebut atas namanya sendiri. Pada delegasi disertai dengan penyerahan wewenang, oleh karenanya jika terjadi penyalahgunaan wewenang oleh delegatoris maka yang bertanggungjawab secara hukum adalah delegatoris.

Pertanggungjawaban pada hukum administrasi menitikberatkan pada pertanggungjawaban jabatan (libiality jabatan) sedangkan hukum pidana memiliki prinsip pertanggungjawaban pribadi (personal responsibility).

 

d.      Tolak Ukur Penyalahgunaan Wewenang

1)      Asas Spesialitas (Specialiteitsbeginsel)

     Pada konsep hukum administrasi, setiap wewenang yang diberikan kepada suatu badan atau instansi atau pejabat administrasi negara selalu disertai dengan tujuan dan maksud diberikannya wewenang itu, sehingga penerapan wewenang itu harus sesuai dengan tujuan dan maksud diberikannya wewenang itu. Apabila penggunaan wewenang tidak sesuai dengan tujuan dan maksud pemberian wewenang itu maka telah melakukan penyalahgunaan wewenang.

      Tolak ukur atau parameter tujuan dan maksud pemberian wewenang dalam menentukan terjadinya penyalahgunaan wewenang dikenal dengan asas spesialisasi (specialialiteitsbeginsel). Asas ini dikembangkan oleh Matiette Kobussen dalam bukunya yang berjudul De Vrijheid Van De Overheid. Secara subtansial specialialiteitsbeginsel mengandung makna bahwa setiap kewenangan memiliki tujuan tertentu. Dalam kepustakaan hukum administrasi sudah lama dikenal asas zuiverheid van oogmerk (ketajaman arah dan tujuan). Menyimpang dari asas ini akan melahirkan penyalahgunaan wewenang (deteournement de pouvoir).

    Asas spesialitas (specialialiteitsbeginsel) oleh Titiek Sri Djatmiati menerjemahkan dalam bahasa Indonesia, asas tujuan. Asas spesialitas merupakan suatu asas yang menjadi landasan bagi kewenangan pemerintah untuk bertindak dengan mempertimbangkan pada suatu tujuan. Setiap kewenangan pemerintah (bestuurs bevoegdheid) diatur oleh peraturan perundang-undangan dengan suatu tujuan tertentu yang pasti. Dari sudut pandang hukum administrasi specialialiteits beginsel tersebut dinyatakan sebagai suatu rangkaian peraturan yang berkaitan dengan kepentingan umum tertentu. Dalam hal ini bahayanya adalah bahwa terdapat pertentangan antara berbagai peraturan tersebut.

     Di dalam penggunaan wewenang pemerintah harus mempertimbangkan kepentingan yang terkait yang ditetapkan oleh peraturan undang-undangan. Jika ketentuan tujuan itu tidak ada, maka akan lahirlah suatu keadaan bahwa berdasarkan peraturan tertentu sebuah tingkah laku harus disetujui, sedangkan berdasarkan peraturan lain tingkah laku tersebut harus disetujui, sedangkan berdasarkan peraturan laintingkah laku tersebut harus dilarang. Dalam kondisi seperti ini pengambilan keputusan dengan mempertimbangkan kepentingan yang lain, maka asas legalitas menjadi tidak bernilai, karena pemerintah bertindak diluar peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan dasarnya, selain itu akan muncul bahaya yaitu pemerintah menggunakan wewenang untuk tujuan lain yang yang berarti adanya penyalahgunaan wewenang (deteournement de pouvoir).

      Hasil penelitian Tatiek Sri Djatmiati dinyatakan bahwa: dalam jurisprudensi Belanda tidak menentukan pendirian yang pasti mengenai berlakunya specialialiteitsbeginsel dalam kaitan dengan doelmatigheid.

      Doelmatigheid oleh banyak sarjana diartikan sebagai sesuai dengan tujuan, salah satunya dapat dilihat dalam bukunya Kuntjoro Purbopranoto yang berjudul “Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintah dan Peradilan Administrasi”, hal tersebut kurang tepat karena “doelmatigheid” mempunyai pengertian efektif.

      Adakalanya Pemerintah dituntut harus bertindak sesuatu untuk mengatasi suatu keadaan tertentu, di sisi lain tidak ada dasar peraturan perundang-undangan atau kalau ada norma tersebut tersamar (vage norm), berkaitan dengan hal tersebut Philipus M. Hadjon dengan menyetir pendapat Mariette Kobussen untuk mengukur penyalahgunaan wewenang dalam kaitannya dengan “beleidsvrijheid” (discreationary power, freies Ermessen) harus didasarkan atas asas spesialitas yang melandasi kewenangan itu sendiri. Asas spesialitas sebagaimana yang diuraikan oleh Mariette Kobussen pada dasarnya mengandung tujuan dari suatu wewenang. Secara negative terjadi penyalahgunaan wewenang apabila penggunaan wewenang itu menyimpang dari tujuan.

2)      Asas Spesialisasi Hubungannya Asas Legalitas

     Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan terutama dalam system hukum continental. Pemerintah hanya dapat melakukan perbuatan hukum jika memiliki legalitas atau didasarkan pada undang-undang yang merupakan perwujudan aspirasi warga negara. Dalam negara demokrasi, tindakan pemerintah harus mendapatkan legitimasi dari rakyat secara formal tertuang dalam undang-undang.

    Asas legalitas merupakan dasar bagi pemerintah untuk bertindak dalam mencapai tujuan tertentu. Pemberian wewenang kepada pemerintah diberikan dengan sarana peraturan perundang-undangan. Asas legalitas asalnya dari kata Lex (undang-undang). asas legalitas dalam hukum pidana artinya seseorang dapat dipidana apabila berdasarkan ketentuan legislasi. Dalam system ketatanegaraan Indonesia, produk legislasi adalah undang-undang dan peraturan daerah.

     Asas legalitas merupakan asas yang universal dan mendunia karena asas ini merupakan perwujudan perlindungan hak kodrat manusia. Asas legalitas dalam hukum pidana dikenal dengan “nullum delictum nulla poena sine praevia lage poenali”, dalam hukum administrasi negara dikenal dengan “wetmatigheid van het bestuur”. Specialialiteitsbeginsel adalah merupakan onderdeel dari asas legalitas (legaliteitbeginsel), maka specialialiteitsbeginsel masih sejenis (serumpun) dengan asas legalitas. Di dalam asas legalitas tidak memperhitungkan kekhususan (tujuan) terhadap wewenang tertentu dalam menerbitkan keputusan. Kekhususan pemberian dan tujuan pemberian wewenang dapat dilihat pada masing-masing peraturan perundang-undangan.

     Seperti yang terurai diatas bisa terjadi beberapa peraturan perundang-undangan saling bertentangan antara yang satu dengan yang lain, dalam situasi yang demikian asas legalitas kehilangan artinya. Menjadi asas legalitas tidak tepat lagi dipakai sebagai parameter untuk mengukur terjadinya penyalahgunaan wewenang.

     Kewenangan diskresi (discreationary power) bisa terjadi karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur kewenangan pemerintah sama sekali atau bisa terjadi pula peraturan perundang-undangan mengandung norma yang samar (vage norm) dalam pemberian wewenangnya. Hal yang pertama biasanya terjadi dalam kaitan dengan situasi yang mendesak dan sangat perlu untuk segera mengambil suatu kebijakan atau keputusan namun landasan hukum untuk bertindak tidak ada, padahal hakikatnya pemerintahan tidak boleh berhenti ibaratnya dalam sedetikpun.

     Pertanyaan yang timbul berkaitan dengan pelaksanaan wewenang di luar apa yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan (asas legalitas), apakah asas spesialitas dapat dipakai sebagai parameter ada tidaknya penyalahgunaan wewenang? Mengukur penyalahgunaan wewenang terutama berkaitan dengan beleidsvrijheid (discreationary power, Freies Ermessen) harus didasarkan pada asas-asas umum pemerintahan yang baik, karena asas wetmatigheid tidaklah memadai.

     Asas-asas umum pemerintahan yang baik merupakan asas hukum yang tidak tertulis, dari mana aturan untuk keadaan-keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan. Selain itu asas umum pemerintahan yang baik merupakan nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang dalam lingkungan hukum administrasi. Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan, asas-asas umum pemerintahan yang baik antara lain meliputi: larangan sewenang-wenang (willekeur), dan larangan penyalahgunaan wewenang.

   Terkait dengan parameter penyalahgunaan wewenang dalam kewenangan diskresi (beleidsvrijheid, discerationary power, freies ermessen) parameter yang dipakai adalah asas spesialitas, yang pada dasarnya mengandung tujuan dari suatu wewenang itu diberikan. Terjadinya penyalahgunaan wewenang apabila penggunaan wewenang itu menyimpang dari tujuan.

3)      Asas Spesialitas Hubungan AAUPB

     Pada situasi menjalankan fungsi pemerintahan, ada kalanya wewenang tidak selalu berjalan sebagaimana yang ada tercantum didalam peraturan perundang-undangan, wewenang bisa saja tidak lengkap diatur didalam perundang-undangan padahal jalannya pemerintahan harus tetap berjalan, sehingga wewenang menjalankan pemerintahan dihadapkan dengan keadaan yang mendesak untuk mencapai tujuan tertentu. Sebagaimana prakteknya hukum administrasi mengenal yang namanya asas freies ermessen (diskresionare) yang merupakan salah satu sarana yang memberikan kepada pemegang wewenang atau badan administrasi negara untuk melaksanakan wewenang atau tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya dengan peraturan perundang-undangan.

    Penggunaan asas freies ermessen bukan merupakan kekuasaan bebas (vrijbestuur) atau wetmatigheid akan tetapi tetap dalam koridor hukum (rechtmatigheid), kekuasaan bebas bukan berarti bertindak semena-mena melainkan dibatasi oleh hukum tidak tertulis yakni asas umum pemerintahan yang baik untuk tujuan negara (mengupayakan bestuurszorg) melalui pembangunan.

     Pada hukum administrasi asas-asas hukum memiliki peran penting untuk menilai kekuasaan bebas atau kekuasaan diskersi masih dalam koridor hukum (rechtmatigheid) atau berpedoman pada “Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestur” atau asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB).

    asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) merupakan konsep terbuka (open begrip) oleh karenanya asas ini berkembang selalu disesuaikan dengan ruang dan waktu itu berada. Hal tersebut membawa implikasi setiap negara memiliki asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) yang berbeda.

     asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) menurut Philipus M. Hadjon harus dipandang sebagai norma-norma hukum tidak tertulis, yang senantiasa harus ditaati oleh pemerintah, meskipun arti yang tepat dari asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) bagi tiap keadaan tersendiri tidak selalu dapat dijabarkan dengan teliti, sehingga untuk membuktikan adanya pelanggaran asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) harus diukur secara factual.

4)      Penyalahgunaan Wewenang dalam Diskresi

    Konsep bestuur (besturen), kekuasaan pemerintahan terbagi sebagai kekuasaan terikat dan kekuasaan bebas (discreationary power atau feies ermessen). Disamping wewenang bebas dan wewenang terikat. Indroharto menambahkan wewenang fakultatif yang terjadi dalam hal badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit banyak masih ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalam hal atau keadaan tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya.

    Philipus M. Hadjon untuk mempermudah memberikan pemahaman kekuasaan bebas dan kekuasaan diskresi dapat dilihat dengan cara ruang lingkupnya yakni kewenangan untuk memutus sendiri, kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (vage normen).

   Parameter penyalahgunaan wewenang pada jenis wewenang terikat menggunakan peraturan perundang-undangan (written rules), atau menggunakan parameter asas legalitas, sedangkan pada kewenangan bebas (diskresi) parameter penyalahgunaan wewenang menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang baik, karena asas “wetmatigheid” tidaklah memadai.

5)      Penyalahgunaan Wewenang dan Cacat Prosedur

     Pada hukum administrasi asas legalitas / keabsahan (legaliteit beginsel / wetmatigheid van bestuur) mencakup tiga aspek yaitu wewenang, prosedur dan subtansi. Artinya wewenang, prosedur maupun subtansi harus berdasarkan peraturan perundang-undangan (asas legalitas), karena pada peraturan perundang-undangan tersebut sudah ditentukan tujuan diberikannya wewenang kepada pejabat administrasi, bagaimana prosedur untuk mencapai suatu tujuan serta menyangkut tentang subtansinya.

    Penyalahgunaan wewenang tidak dapat dicampuradukan dengan cacat prosedur karena konsep Penyalahgunaan wewenang dan cacat prosedur merupakan konsep yang berbeda. Kesalahan prosedur terjadi tidak selalu in haeren dengan penyalahgunaan wewenang, sedangkan cacat prosedur yang in haeren dengan penyalahgunaan wewenang tersebut menyimpang dari tujuan yang telah ditentukan.

   Cacat prosedur tidak secara mutatis mutandis penyalahgunaan wewenang, dengan kata lain terbuktinya cacat prosedur tidak serta merta penyalahgunaan terbukti. Cacat prosedur mempunyai implikasi pada penyalahgunaan wewenang jika penggunaan wewenang tersebut menyimpang atau bertentangan dengan tujuan yag telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

 

e.       Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pemerintahan

    Kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi. F.A.M. Stroik dan J.G. Steenbeek menyatakan wewenang merupakan konsep inti dari hukum tata negara dan hukum administrasi. Istilah wewenang atau kewenangan disejajarkan dengan “Authority” dalam bahasa Inggris dan bevoegdheid dalam bahasa Belanda, dalam Black’S Law Dictionary diartikan sebagai kekuasaan hukum, hak memerintah atau bertindak, hak atau kekuasaan pejabat public untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik.

    Menurut Philipus M. Hadjon memberikan catatan penggunaan istilah wewenang dan Bevoegdheid, istilah wewenang selalu digunakan dalam hukum public sedangkan istilah Bevoegdheid selalu digunakan dalam hukum privat dan hukum publik. Pada kamus besar bahasa Indonesia istilah wewenang diartikan hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.

     Wewenang dalam konsep hukum public sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu pengaruh, dasar hukum dan konformitas hukum. Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum. Komponen dasar hukum bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya. Komponen konformitas mengandung makna adanya standar wewenang yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).

      Konsep bestuur (pemerintah) membawa implikasi kekuasaan pemerintahan tidaklah semata sebagai kekuasaan terikat, tetapi juga merupakan suatu kekuasaan bebas (Vrij bestuur, Freies Ermessen, Discreationary Power). Menurut Ten Berge yang dikutip oleh Philipus M. Hadjon, kekuasaan bebas itu meliputi kebebasan kebijakan dan kebebasan penilaian. Kebebasan kebijakan (wewenang diskresi dalam arti sempit) artinya bila peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintah, sedangkan organ tersebut bebas untuk (tidak) menggunakannya meskipun syarat-syarat bagi penggunaannya secara sah dipenuhi. Sedangkan kebebasan penilaian (wewenang diskresi dalam arti yang tidak sesungguhnya) adalah hak yang diberikan organ pemerintah untuk menilai secara mandiri dan eklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah terpenuhi.

     Penyalahgunaan wewenang / kewenangan dalam tindak pemerintahan menurut konsep hukum tata negara dan hukum administrasi negara selalu dipararelkan dengan konsep de’tornement de pouvoir. Dalam Verklarend Woordenboek Openbaar Bestuur dirumuskan bahwa penggunaan wewenang tidak sebagaimana mestinya. Dalam hal ini pejabat menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain yang menyimpang dari tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu, (pejabat tersebut telah melanggar asas spesialitas / asas tujuan). Dalam mengukur apakah telah terjadi penyalahgunaan wewenang, haruslah dibuktikan secara factual bahwa pejabat telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain. Terjadinya penyalahgunaan wewenang bukanlah karena suatu kealpaan. Penyalahgunaan wewenang dilakukan secara sadar yaitu mengalihkan tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu. Pengalihan tujuan wewenang didasarkan atas interest pribadi pribadi, baik untuk kepentingan dirinya sendiri ataupun untuk orang lain.

3.      Konsep Wewenang Menurut Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi

Konsep wewenang dalam kajian hukum administrasi dan tindak pidana korupsi memiliki keterkaitan. Hukum administrasi berada pada norma hukum pemerintahan dan norma hukum pidana. Norma hukum pidana memiliki sanksi pidana, sedangkan norma hukum pemerintahan berdasarkan hukum administrasi yang sifatnya preventif akan tetapi pada hukum administrasi juga terdapat ketentuan pidana.

Konsep Hukum administrasi menyangkut norma wewenang pemerintah, penggunaan wewenang, oleh pemerintah dan perlindungan hukum oleh pemerintah baik secara preventif ataupun represif terhadap individu dan masyarakat.

Hakekat Hukum administrasi adalah hukum yang berkaitan dengan wewenang pemerintah dan kontrol terhadap penggunaan wewenang yang tujuannya untuk melindungi individu dan masyarakat.

Hukum administrasi dari aspek preventif merupakan instrument hukum utama berkaitan dengan tiga dimensi, pertama hukum untuk norma pemerintahan terutama menyangkut wewenang pemerintahan, kedua hukum oleh tindakan pemerintahan baik yang sifatnya regulasi ataupun yang konkrit, serta yang ketiga hukum terhadap perlindungan hukum bagi rakyat.

Philipus M Hadjon dan Titiek Sri Djatmiati menyatakan bahwa dari aspek represif, hukum administrasi sangat dominan karena tindak pidana korupsi hanya mungkin terjadi dalam konteks kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh maladministrasi dalam penggunaan wewenang, bentuk maladministrasi yang paling utama adalah penyalahgunaan wewenang.

Anton sujata menerjemahkan maladministrasi sebagai bentuk penyimpangan pejabat publik, dapat berupa pelayanan jelek dari perilaku pejabat publik.

Abdul Latif, maladministrasi berkaitan dengan tindak pidana korupsi adalah bentuk suatu perbuatan yang menyimpang dari penggunaan wewenang oleh pejabat pemerintahan yang diberi sanksi pidana. Karena itu dari aspek tindak pidana korupsi maladministrasi dalam bentuknya penyalahgunaan wewenang adalah merupakan salah satu unsur dari tindak pidana korupsi yang merupakan perbuatan melawan hukum yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas hukum yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.

Ada pula yang berpandangan bahwa perbuatan penyalahgunaan wewenang yang sebelumnya merupakan ranah hukum administrasi atau dalam upaya hukum preventif telah bertansformasi sedemikian rupa menjadi perbuatan menyalahgunakan kewenangan dalam ranah hukum pidana yang mana menjadi upaya hukum represif dalam penegakan tindak pidana korupsi, serta berkaitan dengan asas bahwa hukum pidana yang merupakan ultimum remedium atau upaya terakhir sebagai control terhadap penyalahgunaan kewenangan. Bertransformasinya penyalahgunaan wewenang dalam ranah hukum administrasi menjadi menyalahgunakan kewenangan dalam hukum pidana tidak terlepas dengan terpenuhinya factor atau unsur didalam ketentuan hukum pidana itu sendiri yakni Pasal 3 UUPTK.

 

 

Sumber:

Abdul Latief, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi, Prenada Media Group. 2104

Andi Hamzah, Hukum Pidana. PT Sofmedia. 2015.

Pemberantasan Korupsi, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2005

Adami Chazawi, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia. Rajawali Pers. 2016

Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Penerbit Bayu Media Publishing, Malang, Edisi Pertama, Cet. Ke-dua, April 2005

Eddy O.S. Hiariej. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Cahaya Atma Pustaka. 2016.

Elwi Danil. Korupsi Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya. Rajawali Pers. 2014

H.J. Van Schravensijk, Buku Peladjaran Tentang Hukum Pidana Indonesia, J.B. WOLTERS, Djakarta-Groningen, 1956

Hasan Alwi, Dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Edisi Ketiga, Departemen Pendidikan Nasional-Balai Pustaka, Jakarta, 2005

Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, Dadit Media. 2009.

Jawade Hafidz Arsyad, Korupsi dalam Persfektif HAN (Hukum Administrasi Negara), Sinar Grafika. 2015

Laden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan, Djamban. 2009.

Philipus M. Hadjon, R Sri Soemantri Martosoewignjo, Sjacran Basah, Bagir Manan, H.M. Laica Marzuki, J.B.J.M. ten Berge, P.J.J. van Buuren, F.A.M Stroinik. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia Introduction to  the Indonesian Administrative Law. Gadjah Mada University Press. 2005.

Philipus M. Hadjon, Tatiek Sri Djatmiati, G. H. Addhink, J.B.J.M. ten Berge, Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi. Gadjah Mada University Press. 2011

Pimpinan Pusat Ikatan Hakim Indonesia (PP IKAHI), Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi, Hasil Seminar Nasional Dalam Rangka Hari Ulang Tahun IKAHI Ke – 62 “Peradilan Tindak Pidana Korupsi Ke Depan Jakarta, 26 Maret 2015” Sinar Grafika. 2015

R. Wiyono, S.H., Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Pertama, Juni 2005

Soedarto, S.H., Hukum dan Hukum Pidana, Penerbit PT. Alumni Bandung, Tahun 1977

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 1999

 Putusan Mahkamah Agung R.I. tanggal 28 Februari 2007 Nomor 103 K/Pid/2007

 

Leave A Comment